Ternak lokal atau asli Indonesia  merupakan salah satu kekayaan nasional yang tidak kecil artinya, baik  dilihat dari segi sumber pendapatan, sumber protein hewani yang murah  dan mudah, maupun sebagai sumber tenaga kerja. Banyak diantara ternak  lokal atau asli Indonesia yang perkembangannya tidak terlalu  menggembirakan, bahkan bila tidak segera ditangani dikhawatirkan  mengalami kepunahan. Upaya untuk mempertahankan kelestarian dan  kemurnian ternak asli perlu ditangani, karena dalam jenis ternak asli  mungkin terkandung gen-gen yang belum tentu dimiliki oleh jenis-jenis  ternak impor.
Salah satu di antara plasma nutfah hewani yang perlu dipertahankan  eksistensinya adalah ternak domba. Disamping sebagai penghasil daging,  kulit, susu, wol, dapat juga dipakai sebagai bahan penelitian atau  sebagai bahan rakitan untuk menciptakan kultivar-kultivar  (bangsa-bangsa) unggul baru.
Pada awal sebelum terjadinya proses  domestikasi, domba masih hidup liar di pegunungan. Perburuan hanya  dilakukan untuk mendapatkan daging guna pemenuhan hidup sesaat.  Pemeliharaan ternak dimulai ketika manusia merasa perlu mempunyai  cadangan daging setiap saat diperlukan, sehingga dimulailah pemeliharaan  ternak domba yang merupakan awal dari proses domestikasi. Bangsa domba  yang dipelihara sekarang ini adalah domba tipe perah, pedaging, dan  penghasil wol.
Tidak diketahui secara pasti, kapan domba mulai  dipelihara di Indonesia, akan tetapi dengan adanya relief domba di Candi  Borobudur (circa 800 SM), menandakan bahwa domba sudah dikenal  masyarakat sekitarnya pada saat itu (Ryder, 1983). Domba yang sekarang  menyebar di seluruh dunia ini sesungguhnya berasal dari daerah  pegunungan Asia Tengah, dimana sebagian menyebar ke arah Barat dan  Selatan sehingga dikenal sebagai kelompok urial dan yang lainnya  menyebar ke Timur dan Utara yang dikenal sebagai kelompok argali.  Terdapat tiga macam domba berdasarkan asalnya (bagian Barat dan Selatan  Asia), yaitu Ovis musimon, Ovis ammon, dan Ovis orientalis. Sebelum  terjadinya pemisahan daratan antara kepulauan Indonesia dan jazirah  Melayu, maka domba yang ada di kawasan tersebut boleh jadi menyebar dari  kawasan Asia Tengah (sekarang daerah Tibet, Mongolia), kemudian ke  daerah Kamboja, Thailand, Malaysia dan kawasan Barat Indonesia seperti  Sumatera yang pada saat itu masih bersatu dengan Malaysia. Hal tersebut  terbukti dari jenis domba yang dijumpai di kawasan tersebut adalah dari  jenis ekor tipis dengan penutup tubuh berupa rambut.
Pada masa  kolonial Belanda, berbagai importasi ternak dilakukan oleh pemerintah  Hindia Belanda, diantaranya adalah kambing dan domba, terutama ke pulau  Jawa sebagai pusat pemerintahan pada saat itu dan Sumatera Barat dengan  tujuan untuk meningkatkan kualitas domba lokal yang ada (Merkens dan  Soemirat, 1926). Selain itu, kedatangan pedagang Arab ke Wilayah  Nusantara memberikan kontribusi pada keragaman jenis ternak domba yang  ada, yaitu dengan membawa domba ekor gemuk ke propinsi Sulawesi Selatan  dan Pulau Madura. Demikian pula setelah masa kemerdekaan, dapat dilihat  dari banyaknya importasi jenis domba pada masa Orde Baru dengan tujuan  utama meningkatkan produktivitas ternak domba lokal. Bisa disebut antara  lain domba yang berasal dari daerah bermusim empat seperti Merino,  Suffolk, Dorset, Texel (Natasasmita dkk., 1979), maupun domba dari  daerah tropis dengan penutup tubuh berupa rambut, seperti domba St.  Croix dan Barbados Blackbelly (Subandryo dkk., 1998).
Dengan  perkembangan Iptek pada masa sekarang ini perkembangan serta peningkatan  kualitas hewan ternak sudah sering dilakukan di berbagai daerah di  Indonesia. 



00.54
pengemukan
 Posted in:  
0 komentar:
Posting Komentar